Secuil Kisah Romantis di Rumah Sakit

Beberapa waktu yang lalu aku dua kali berkesempatan menjadi asisten penelitian kakak tingkatku. Keduanya sama-sama mengambil setting di rumah sakit, RS Akademik UGM dan RSUP dr. Sardjito. Meskipun hanya sebagai asisten, jujur kesempatan ini benar-benar menjadi pengalaman yang memberi kesan tersendiri bagi seorang mahasiswa yang tengah bertanya-tanya menebak masa depan ini. 

Pertama, bulan februari hingga maret yang lalu aku membantu kakak tingkatku untuk mewawancarai pasien hemodialisa (atau sering dikenal pasien cuci darah). Bisakah kamu bayangkan jika setiap minggu seseorang mesti menjalani cuci darah dua kali tanpa boleh putus sekalipun? Sekalinya cuci darah bisa memakan waktu 3-4 jam dengan posisi terbaring/duduk. Tentunya cuci darah ini mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hal itu mesti menjadi rutinitas demi bertahan hidup. Jika putus sekali saja, nyawa yang jadi taruhannya akibat reaksi tubuh dengan zat-zat toksik. 

Kedua, bulan juli hingga agustus ini di ICU (Intensive Care Unit). Disini aku mesti mengukur gerakan tangan dan kaki pasien yang tengah terbaring dengan segala belalai alat-alat penyelamat hidup. Dari sekian pasien yang kutemui, hampir semua tidak sadarkan diri, terpasang alat bantu napas (ventilator mekanik), selang makan (NGT/OGT), kateter urin, dan tangan kaki penuh dengan infus set (iv line). Dengan biaya perawatan yang sungguh tidak murah. Mereka tengah berjuang dengan penyakitnya masing-masing bahkan ada beberapa yang akhirnya kembali pada Yang Maha Kuasa. 

Dari kedua pengalaman itu, diriku belajar jika nantinya bekerja di rumah sakit. Banyak sekali nilai-nilai yang kuperoleh dari masing-masing tempat. Tapi, diantara nilai-nilai itu ada satu hal sama yang membuatku tergetar takjub. Bukan dari sudut pandang pasien, melainkan keluarga. 

Ini adalah soal cinta, kesetiaan dan kasih sayang

Aku bertemu dengan seorang pasien laki-laki yang bisa dibilang masih muda. Usianya 30an dan ternyata sudah memiliki sebuah keluarga kecil. Ia mesti menjalani hemodialisa karena penyakit ginjalnya. Tertangkap rasa kebosanan tiap kali melakukan cuci darah. Aku juga menemui seorang kakek yang tengah terbaring di ICU akibat sakit jantung hampir tiga minggu lamanya. Ketika ku tanya riwayat penyakitnya, istrinya bahkan menerangkan bahwa Ia bahkan sudah mondok lebih dari satu bulan di rumah sakit. Jika ditotal, ia sudah dirawat hampir 2 bulan. Dan yang akan selalu ku ingat, seorang pasien wanita seumuranku yang terbaring lemas pasca melahirkan. Ia bahkan belum sempat bermain menggendong bayinya karena persalinan telah membuatnya mengalami gagal ginjal dan gagal jantung. Ia sudah dirawat lebih dari sebulan bahkan sebelum aku memulai pengambilan data. Dari ketiganya, betapa diriku belajar bahwa manusia pasti akan atau pernah menjalani yang namanya berada di titik terendah. 

Diantara penderitaan yang tengah dialami para pasien, muncul rasa takjubku pada orang-orang yang selalu berusaha selalu ada, keluarga. Laki-laki muda itu beruntung telah memiliki istri dan anak perempuan kecil yang kadang ikut mengantarkannya menjalani cuci darah. Di sela-sela sesi, sang istri dengan penuh kesabaran menunggu di samping laki-laki itu. Tidak jarang si anak bercanda dengan ayahnya. Kakek itu memiliki istri yang setia setiap hari menunggu di luar ruang ICU. Beliau selalu duduk di barisan kedua. Menyunggingkan senyum seolah berharap bahwa semua akan baik-baik saja. Kadang aku menyapa beliau dan dijawabnya dengan begitu ramah. Dan perempuan muda itu juga selalu ditunggu oleh suaminya. Tak jarang ketika waktu berkunjung suaminya menyuapi sambil bercerita. Perempuan itu hanya tersenyum seolah ingin berbagi cerita dengan suaminya. Sesekali aku menangkap genggaman erat oleh sang suami. Ah romantis sekali mereka ini... 

Aku menghela napas sambil membayangkan betapa beruntungnya para pasien yang telah dicintai dan disayangi ketika sedang berada pada titik terbawah. Pun betapa tegarnya keluarga yang selalu menemani. Aku juga teringat saat aku pernah berada pada titik itu. Kisah ini menjadi sebuah refleksi bagiku pribadi yang merasa masih kurang bisa caring terhadap orang-orang disekitarku, baik itu keluargaku dan teman-temanku. Padahal begitu banyak yang sudah mereka berikan dan lakukan. Semoga kelak diriku dapat memberi perhatian bagi siapapun sepenuh hati. 

-Adinda

Comments

Popular posts from this blog

All about donor darah

Being A Nursing Student

The meaning of being adult