Oh... Instagram
Apa yang terbesit di dalam kepalamu ketika mendengar atau membaca kata "Instagram"? Pikiranmu pasti akan tergiring pada aplikasi dengan logo berwarna dominan fushia gradasi dan list kamera putih yang populer sekali di kalangan netizen. Aplikasi yang konten utamanya adalah gambar, bisa foto atau hasil gambar digital, ditambah dengan fitur filter dan caption untuk menyempurnakan gambar yang ingin kamu share. Nah... my question, apakah kamu juga merupakan pengguna aktif? pengguna pasif? pengguna bisnis? atau jangan-jangan kamu juga merupakan pengguna multipel? hehehe, multipel disini maksudku adalah para pengguna yang juga punya second account yang tidak menunjukkan identitas aslinya.
Semenjak kehadirannya di tahun 2010, Instagram memang kian mendapat sambutan yang positif dari netizen di seluruh dunia. Bisa dibilang dengan fiturnya yang saat itu cukup beda dari apps lainnya macam facebook atau twitter, orang-orang pun tertarik untuk menginstall aplikasi ini. Sign in-nya pun bisa dibilang cukup gampang. Aku sendiri mengenal aplikasi ini saat memasuki bangku SMP dan mulai membuat akun saat SMA (2014). Kenapa aku memutuskan untuk membuat akun? jawabannya klise... karena teman-temanku juga punya akun Instagram (maklum ya... masa-masa remaja yang penuh dengan ikut-ikutan).
Tahun berganti, dan ternyata developer Instagram pun semakin berinovasi dengan menambah fitur-fitur baru. Ada fitur video, IGTV dan banyak lagi. Satu fitur yang sangat merubah kehidupan pengguna ig adalah fitur story. Fitur ini sukses menggait atensi pengguna dalam menambah waktu untuk menatap layar ponsel pintarnya. Selain itu, algoritma ig pun juga ikut berkembang dari yang tadinya kita hanya bisa melihat postingan orang yang kita follow saja di timeline kita, hingga sekarang ditambah pula dengan iklan produk-produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna.
Terus, apakah itu salah? tidak... itu justru bagus namun dalam tujuan tertentu.
Well... Aku pribadi punya cerita nih dengan aplikasi yang satu ini (yang jujur cukup life changing banget...)
Jadi ceritanya begini.... di awal-awal penggunaan atau dua tahun pertama bisa dibilang aku merupakan pengguna aktif. Aktif disini aku definisikan sebagai pengguna yang sering upload dan scrolling instagram hampir tiap hari. Terus memasuki bangku perkuliahan, sebenarnya frekuensiku dalam membuka instagram cukup berkurang, yaaa paling seminggu sekali buka ig, namun karena saat kuliah cukup banyak mengikuti organisasi dan event, ada hal-hal tertentu yang mengharuskan aku buat aktif di Instagram hampir setiap hari contohnya publikasi event, paid pomote, sampe support karya lomba... Alhamdulillah.. pada ada saat itu aku cukup bisa memanage penggunaan igku dengan baik.
Hingga akhirnya, memasuki tahun terakhir perkuliahan, sesuatu terjadi. Aku menjadi pribadi yang rada sensitif melihat postingan-postingan teman-teman di ig. Kenapa bisa begitu? yaaa... maklum, tahun terakhir perkuliahan saat itu hawanya seperti arena kompetisi. Kompetisi siapa duluan yang selesai skripsi, siapa yang banyak traveling kemana-mana, siapa yang paling banyak menang lomba hingga bahkan sampai siapa yang paling bahagia. Pada hakikatnya, instagram memang diciptakan sebagai wadah aktualisasi diri yang sedikit banyak dimaknai orang-orang sebagai wadah untuk show off. Apakah salah? No... enggak salah... Kalaupun ada orang-orang yang berpura-pura pencitraan demi konten ignya pun jugaa bagiku tidak masalah. selama tidak merugikan orang lain.
Terus kenapa kamu bisa se-sensi itu Din?
I didn't know at that time... Semester terakhir perkuliahan itu saat pandemi COVID mulai tinggi-tingginya. Otomatis, everything should be done at home. Nah, ini juga membuat frekuensiku untuk main instagram bertambah. Dari yang dulunya seminggu sekali jadi setiap hari. Dari yang dulunya scrolling timeline hingga scrolling explore plus ngeliatin story. Pokoknya it was become a neverending activity. Parahnya lagi, tanpa sadar pernah hampir 3 jam waktuku terpakai buat ig. Parah ya....
Alhamdulillahnya... aku menemukan sebuah video tentang puasa instagram (tidak main instagram dalam jangka waktu tertentu)... ada beberapa yang aku tonton dan yang paling menyadarkanku adalah video ini dan ini. Akhir Agustus 2020, setelah aku menyelesaikan skripsi, aku pun mantap buat puasa instagram. Aku mulai mendeactivate akunku secara temporer dan saat itu aku pengen mencoba untuk puasa ig 1 bulan aja dulu. Di bulan berikutnya, ternyata aku menemukan kenyamanan untuk hidup tanpa ig. Dalam benakku bilang lanjutin ah.... begitu. Dampak positif yang aku rasain selama puasa ig adalah aku menjadi tidak membanding-bandingkan diri dengan melihat capaian orang lain. aku pun jadi lebih menikmati suasana ketika lagi jalan-jalan atau melakukan kegiatan tertentu ketimbang sibuk merekam untuk konten story. Bisa dibilang puasa ig membuat rasa insecureku berkurang.
Selama deactivating ig banyak juga orang yang bertanya-tanya. "ngapain deactivate, Din?" "Loh kamu nggak ada ig? padahal mau aku tag loh..."... Aku pun cuma bisa nyengir berharap mereka mengerti kondisiku. Di sisi lain,, ternyata banyak juga informasi yang tidak aku ketahui selama puasa ig. misal berita terkini, kegiatan kampus, event-event, hingga kondisi teman dekatku. Alhasil kadang kudet banget saat ngobrol dengan teman-temanku. Mungkin itu dampak negatif yang terasa saat puasa ig.
Tanpa terasa sudah satu semester aku nggak main ig. Aku pun berefleksi dari hal yang sudah aku lakukan. Aku sangat bersyukur bisa bertahan tanpa ig selama itu, namun memang aku juga merasa bahwa di era teknologi seperti ini ig juga bisa menjadi sarana yang penting. Ig juga bisa menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan dan pemikiran, serta mengetahui kondisi orang terdekat kita. Setelah menimbang-nimbang what's next.... aku memutuskan untuk aktif ig kembali namun dengan ritme seperti dulu (1 minggu sekali) ditambah dengan set waktu tidak lebih dari 30 menit. So i hope i'll bring more benefits for me. Btw here's my account if you wanna follow :)
Comments
Post a Comment