Understanding People

Sejak aku kuliah di jurusan keperawatan, ada satu  kalimat yang selalu ditekankan di setiap perkuliahan  yaitu...

setiap individu itu unik.

Tidak ada manusia yang seratus persen sama, anak kembar pun ada bedanya, and yesh, aku setuju dengan ini. Anak keperawatan diajarin untuk memperlakukan pasien sebagai satu individu yang utuh. Individu yang tersusun atas aspek-aspek biopsikososiokulturalspiritual (panjang dan kadang sering kelupaan nyebut urutannya) yang juga saling berpengaruh menentukan seperti apa sih orang ini. 

Sebagai seseorang yang dulunya (mungkin sampai sekarang juga masih sih) dikenal sebagai orang yang demanding, tentu saja memahami manusia sebagai individu yang unik kerap menjadi problematika. Aku dulunya  sering bertanya-tanya kenapa sih setiap orang itu nggak sama, yang satu gampang diatur kok yang satu sulit. As a result, aku sering memaksakan suatu hal ke orang-orang di sekitar dengan caraku yang tidak jarang berakhir kisruh.

Dalam realitanya, semakin usiaku bertambah, semakin banyak interaksi dengan banyak orang membuatku memahami bahwa tidak semua rumus kehidupan yang sering diajarkan oleh guru atau orang tua kita itu berlaku. Banyak sekali faktor internal atau eksternal yang berpengaruh membentuk seseorang. Sebagai contoh, tidak semua orang dengan latar belakang pendidikan rendah selalu memiliki kualitas hidup yang buruk, begitu pula sebaliknya... tidak semua orang yang berpendidikan tinggi memiliki kualitas hidup yang baik. Contoh lain, tidak semua anak seusia 20an itu labil. Karena dalam faktanya, aku bertemu dengan beberapa orang yang sudah cukup wise dalam menjalani kehidupan. Tentu hal ini erat kaitannya dengan what had happened in the past, dari pola didik orang tuanya, dari lingkungan pergaulannya atau dari cobaan hidupnya.

Nah...  ada lagi contoh lain yang lebih relate dengan duniaku sebagai mahasiswa keperawatan. Jadi begini, ada dua orang pasien yang sama-sama sakit diabetes melitus dan harus rutin mendapatkan terapi insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Ternyata keduanya tidak rutin melakukan terapi insulin. Ternyata setelah dikaji, alasan keduanya tidak sama. Pasien pertama ternyata tidak mengetahui pentingnya terapi insulin, sedangkan pasien kedua ternyata kekurangan biaya untuk membeli insulin. Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam satu permasalahan yang sama, penyebabnya bisa beragam. 

Kita hidup di dunia tentu perlu kehadiran orang lain untuk saling membantu. Itulah mengapa penting bagi kita untuk mencoba memahami manusia lain sebelum kita berinteraksi dengan mereka. Understanding people pun juga tidak semudah kita mengedipkan mata. Perlu yang namanya latihan dan pembiasaan apalagi bagi manusia macam saya ini. To understand people, here are some ways to do:

1. Hilangkan prasangka buruk dan judgement yang ada di kepala, and open your mind

Prasangka buruk/ suudzon adalah hal  yang sangat fatal dalam interaksi antar manusia. Sekalinya kita berprasangka buruk terhadap orang lain (karena kelakuannya, latar belakangnya, atau masa lalunya), akan timbul judgement-judgement tertentu yang bisa jadi cukup menyakitkan. Dari yang tadinya mencoba understanding bisa jadi berubah jadi underestimate. Misal nih, ada mahasiswa yang belum bisa ngumpulin tugas tepat waktu ke seorang dosen. Dosen itu lalu tiba-tiba berpikiran bahwa si mahasiswa ini tadi pemalas sama seperti mahasiswa yang ia temui pada umumnya. Padahal, bisa jadi mahasiswa ini belum bisa mengerjakan tepat waktu karena ada hal yang lebih urgent untuk dilakukan. So again, prasangka buruk akan ngeblock segalanya. Ohiya... ada juga satu hal yang mesti diingat bahwa people changes orang yang saat ini kita hadapi bisa jadi sudah berubah 180 derajat dari yang dulu kita kenal. Jadi buang jauh-jauh deh prasangka buruk yang nyangkut di kepala.

2. Perhatikan, amati, tanyakan dan dengarkan

Kalau dalam istilah kesehatan, hal ini dinamakan pengkajian yang tujuannnya untuk memperoleh banyak informasi/data. Sederhananya kita ingin tahu apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Balik ke cerita mahasiswa dan dosen tadi... si dosen pun tanpa intro langsung mengomeli mahasiswa sambil bilang "kamu ini gimana sih, ngumpulin kok telat... memang pemalas". Tuh kan, tanpa bertanya dan mendengarkan langsung menuduh. Padahal  bisa jadi dengan bertanya dan mendengarkan si mahasiswa bisa menjelaskan mengapa tugasnya telat. Dengan begitu respon yang kita berikan bisa lebih sesuai dan tidak saling menyakiti seperti ini. 

3. Berikan empati

Empati itu seperti try to put yourself in her/hir shoes. Kebanyakan orang justru sebaliknya akan memposisikan orang lain dalam posisi orang itu sendiri. Balik lagi ke cerita tadi ya... si dosen pun bilang, "kamu tu makanya bagi waktu dengan bener, kalau kamu itu saya, pasti saya langsung mengerjakan langsung setelah diberi tugas". Jawaban ini itu sama dengan "kalau kamu itu aku, aku bakal...". Jawaban ini umum sekali dijumpai mungkin saat kita sedang curhat atau dinasehati. Namun ternyata respon inti menunjukkan sebuah jawaban yang tidak didasarkan pada empati. Padahal yang namanya empati adalah the ability to sense other people's emotions, coupled with the ability to imagine what someone else might be thinking or feeling.  Coba deh dibalik, "kalau saya ada di posisi kamu" sambil membayangkan diri kita di kondisi, tempat, dan waktu yang sama.

Ilustrasi soal dosen-mahasiswa ini nyata adanya dan bisa jadi hal ini juga terjadi di kehidupan pembaca sekalian. Mungkin terjadi antara relasi anak-orang tua, saudara, sahabat, rekan kerja, bahkan pasangan. Jadi jangan sampai karena kita yang tidak memahami mereka, masalah yang seharusnya kecil bisa semakin runyam. Maka dari itu, memahami orang lain memang harus dibiasakan sejak sekarang. Jika kamu berharap orang lain bisa memahamimu, try to understand them first... Notes ini aku tulis sebagai pengingat untuk diriku sendiri yang juga masih belatih untuk memahami. 

a slice of life on understanding people



Comments

Popular posts from this blog

All about donor darah

Being A Nursing Student

The meaning of being adult